Seni Mengajar Siswa Istimewa
Minggu, 5 Desember 2021 11:59 WIB
Kisah Masa Lalu Seorang Guru Terapkan Merdeka Belajar
Saya adalah seorang tenaga pendidik dan sekaligus kependidikan di sebuah sekolah swasta di Yogyakarta. Sebuah sekolah yang memberikan ruang yang sangat bebas bagi saya untuk mengembangkan semua potensi yang saya miliki, salah satunya adalah mengajar. Kenapa saya sampaikan mengajar adalah potensi saya? Karena sebenarnya menjadi guru adalah sebuah cita-cita yang tidak pernah saya inginkan ketika di bangku sekolah. Gambaran seorang guru yang mengajar di depan kelas yang hanya terpaku pada buku dan papan tulis menjadi hal yang sangat tidak menarik bagi saya karena saya lebih suka belajar secara bebas dengan praktik dan melakukan aktivitas yang mendukung kegiatan belajar mengajar. Hal inilah yang nantinya akan saya lakukan jika saya menjadi seorang guru yaitu menjadi guru yang kreatif dan dapat leluasa dalam melaksanakan proses pembelajaran. Kesempatan ini dapat terwujud ketika takdir membawa saya ke sebuah sekolah swasta yang baru berdiri di mana sekolah tersebut memberi kesempatan guru untuk bisa lebih kreatif dalam mengelola kegiatan belajar mengajar di kelas. Namun karena saya tidak mengambil program studi kependidikan hal ini tidak mudah saya lakukan di awal saya mengajar. Lantas, bagaimana saya mewujudkan keinginan saya untuk mengajar secara kreatif? Learning by doing, itulah yang saya lakukan untuk menemukan metode yang pas untuk mengajar murid-murid saya. Saat itulah potensi saya sebagai seorang guru terasah karena kondisi.
Kebebasan guru untuk lebih kreatif dalam mengembangkan kegiatan belajar mengajar di sekolah saat ini lebih dikenal dengan merdeka belajar. Konsep merdeka belajar yang dicetuskan oleh Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia di Kabinet Indonesia Maju memberikan kesempatan kepada sekolah, guru-guru dan peserta didik untuk memiliki kebebasan dalam berinovasi dan bertindak pada kegiatan belajar mengajar. Esensi kemerdekaan dan kebebasan berpikir harus dimulai oleh guru terlebih dahulu kemudian diajarkan pada siswa sehingga dengan konsep merdeka belajar diharapkan sistem pengajaran bisa lebih bervariasi. Pembelajaran dapat dilakukan di dalam maupun di luar kelas, tidak lagi berorientasi pada guru namun bisa dengan dua arah: guru dan siswa. Siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan guru saja, namun mereka dapat menemukan sendiri melalui penugasan baik melalui praktik atau outing class maupun studi kasus; presentasi; dan berdiskusi lebih dalam dengan guru. Dari semua kegiatan tersebut, diharapkan terbentuknya karakter peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan, dan berkompetensi.
Untuk mewujudkan konsep merdeka belajar, ternyata perlu seni dalam mengajar. James S. Cangelosi, dalam bukunya Classroom Management Strategies mengatakan bahwa seni mengajar memiliki kompleksitasnya sendiri (the complex art of teaching) sehingga membutuhkan lebih dari satu cara, menuntut kemampuan guru dalam memilih strategi yang tepat, mengatasi perilaku peserta didik dan melaksanakan rencana pembelajaran efektif sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Pengetahuan yang didapatkan tentang mengajar tidak cukup untuk menyelesaikan kompleksitas dalam mengajar sehingga dibutuhkan seni mengajar. Selain itu, saat mengajar kita membutuhkan keterampilan, waktu, dan kesabaran. Seni ini yang dibutuhkan guru untuk menentukan kapan harus memotivasi, kapan harus memberi konsekuensi, kapan harus membantu dan kapan untuk mundur (hanya memperhatikan dari jauh). Pembelajaran yang sebenarnya terjadi di dalam kelas itulah bentuk dari seni mengajar. Hal ini yang saya lakukan ketika akhirnya memutuskan untuk terjun dalam dunia pendidikan sebagai guru, berikut kisah saya.
Dengan semangat membara dan senyuman yang tersungging lebar, kulangkahkan kakiku menuju ke sebuah ruangan yang berisi deretan siswa, yang tentunya menunggu kedatangan saya untuk menerima materi pelajaran yang sudah saya persiapkan sebelumnya. Itulah yang ada dalam benak saya saat itu, saat di mana saya memulai pengalaman baru sebagai seorang guru di sebuah sekolah swasta yang baru berdiri dengan siswa-siswi yang baru pertama kali juga berinteraksi secara langsung dengan saya. Kegiatan belajar mengajar pun berlangsung dan ternyata kenyataan tak seindah harapan karena kelas saya berisi sekumpulan anak yang sangat beragam kemampuannya, dari anak yang sangat semangat belajar hingga anak-anak yang enggan untuk belajar. Apalagi saya mendapatkan amanah mengajar materi yang menjadi momok bagi mereka, Matematika. Senyum lebar pun meluruh ketika proses pembelajaran tidak sesuai dengan rencana yang sudah saya susun. Saat inilah proses learning by doing untuk menentukan metode yang pas dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa saya lakukan, yaitu dengan menerapkan secara langsung metode yang ingin saya gunakan ketika proses pembelajaran berlangsung kemudian mengevaluasi metode yang telah saya lakukan.
Ketika proses kegiatan belajar mengajar (KBM) berlangsung sebenarnya tidak hanya siswa yang belajar, tetapi sesungguhnya guru juga melakukan proses pembelajaran. Belajar mengenali karakter, kemampuan, minat, bahkan sampai kondisi psikologis siswa saat proses pembelajaran berlangsung. Dengan bekal itu, guru bisa menerapkan metode yang tepat untuk diterapkan dalam proses belajar mengajar. Saat inilah seni mengajar dibutuhkan, bagaimana guru bertindak ketika situasi tidak sesuai dengan harapan di lapangan dan dengan cepat memilih metode yang harus diterapkan pada saat itu yang bisa jadi berbeda dengan rancangan pembelajaran yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Guru harus menentukan kapan harus memotivasi, kapan harus memberi konsekuensi, kapan harus membantu, dan kapan untuk mundur (hanya memperhatikan dari jauh). Hal ini tidak mudah saya lakukan di awal saya mengajar karena adanya keragaman kemampuan siswa yang sangat tinggi di kelas saya yang saya kategorikan dalam tiga level, yaitu siswa dengan kategori cepat, menengah, dan lambat dalam menerima materi pelajaran Matematika.
Tidak mudah bagi saya untuk bisa menyampaikan materi pelajaran di dalam kelas yang memiliki keragaman kemampuan siswa yang sangat tinggi. Ketika saya berfokus pada waktu penyampaian materi yang menyesuaikan dengan ketentuan kurikulum, maka siswa dengan kemampuan cepatlah yang mampu menyesuaikan dan memperoleh hasil yang baik. Sedangkan, jika saya berfokus pada siswa dengan kemampuan lambat dan menengah, maka membutuhkan waktu yang lama agar siswa dapat lulus Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM).
Hasil evaluasi pertama ulangan harian siswa menjadi hal yang harus saya perhatikan karena sebagian besar siswa tidak lulus Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) di materi yang saya ajarkan saat itu. Saya harus mengkaji ulang metode yang sesuai agar sebagian besar siswa yang tidak lulus KKM dapat tuntas. Hal inilah yang kemudian membuat pembelajaran saya selanjutnya berfokus pada siswa dengan kemampuan menengah dan lambat. Sebab lainnya yaitu, siswa dengan kemampuan cepat sangat sedikit jumlahnya, biasanya hanya satu sampai dua siswa saja. Untuk mewujudkan tujuan saya, saat itu saya menyediakan bimbingan khusus. Bimbingan saya lakukan di luar proses pembelajaran baik di sekolah maupun di luar sekolah. Keinginan saya untuk memberikan bimbingan ternyata disambut dengan baik oleh siswa saya. Bagi siswa laki-laki, kegiatan bimbingan belajar saya lakukan di malam hari. Saya masih ingat ketika mereka menjemput saya untuk membimbing mereka belajar di salah satu rumah siswa yang ternyata di sana sudah berkumpul beberapa siswa yang ingin mendapatkan bimbingan belajar di luar sekolah. Saya juga masih ingat ketika ada siswa yang selalu minta tambahan belajar kepada saya ketika jam istirahat yang mana dia termasuk dalam kategori yang sangat lambat dalam menerima materi saya, namun kegigihannya untuk menguasai materi Matematika membuahkan hasil. Dia mampu menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa dia dapat memaksimalkan kemampuannya dalam bidang studi Matematika yang selama ini menjadi momok baginya. Meskipun nilainya tidak sebagus teman-temannya yang masuk dalam kategori cepat, namun nilai yang diperoleh merupakan wujud bahwa dia mampu memaksimalkan kapasitas kemampuannya dalam bidang Matematika. Dia mampu menunjukkan pada dirinya sendiri bahwa ternyata dia bisa mengikuti pelajaran Matematika yang selama ini selalu membuatnya takut dan merasa tidak bisa. Saya pun masih ingat ketika beberapa siswi meminta saya menemani mereka menginap di sekolah untuk mendapatkan tambahan belajar. Semangat mereka untuk mendapatkan bimbingan belajar tambahan dari saya membuat saya semakin bersemangat untuk mengajar mereka.
Tahun demi tahun berlalu, metode yang saya terapkan dalam kegiatan belajar mengajar pun berkembang. Meskipun menggunakan metode yang berbeda-beda, baik secara klasikal, privat (individual), maupun praktik, presentasi, dan kerja kelompok, fokus utama saya tetap pada siswa dengan kategori lambat dan menengah. Sedangkan untuk siswa dengan kategori cepat, saya meminta pengertian mereka untuk bersabar jika materi berjalan sangat lambat dan sering diulang-ulang karena menyesuaikan dengan kemampuan rata-rata siswa di kelas yang lebih lambat dalam menerima materi pelajaran Matematika.
Namun, setelah beberapa tahun mengajar, gejolak rasa bersalah pun muncul karena saya merasa tidak adil kepada siswa yang memiliki kemampuan cepat atau sangat cepat dalam menerima pelajaran meskipun mereka tidak mempermasalahkan ketika proses pembelajaran berlangsung lebih lama karena harus menyesuaikan dengan kemampuan siswa yang lebih lambat. Mereka berhak mendapatkan perlakuan yang dapat melatih kemampuan mereka sesuai dengan level yang mereka miliki. Sehingga untuk selanjutnya saya harus berpikir metode yang tepat agar siswa dalam satu kelas yang beragam kemampuannya bisa mendapatkan perlakuan sesuai dengan kapasitas kemampuan mereka. Saat inilah saya mulai menerapkan pengayaan untuk siswa yang memiliki kemampuan lebih. Kegiatan pengayaan saya terapkan bersamaan waktunya ketika siswa dengan kemampuan lambat harus melakukan remedial untuk mencapai ketuntasan minimum, maka saat itulah siswa dengan kemampuan yang cepat melakukan kegiatan pengayaan dengan mengerjakan soal yang dalam pengerjaannya memerlukan kemampuan analisis yang tinggi.
Metode perlakuan dengan model pengayaan saya terapkan untuk siswa yang memiliki kategori cepat hingga pada tahun pelajaran 2019/2020 saya mencoba beberapa metode sekaligus untuk saya terapkan di kelas saya. Pertama, saya membuat kelompok-kelompok kecil dalam kelas saya yang masing-masing kelompok memiliki 1 siswa yang dianggap memiliki kemampuan lebih sebagai ketua kelompoknya. Fungsi kelompok ini adalah untuk mengondisikan siswa bekerja dalam satu kelompok kerja di mana ketua berperan sebagai mentor bagi teman-temannya dalam satu tim. Kegiatan yang dilakukan adalah praktik dan presentasi. Siswa dalam kelompok tersebut diminta untuk menemukan suatu rumus Matematika dengan melakukan kegiatan praktik. Setelah mereka berhasil menemukan rumus melalui kegiatan praktik tersebut, mereka diminta untuk mempresentasikan hasil kerja mereka di depan guru dan teman-teman satu kelas. Dalam hal ini, guru lebih berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing. Dengan kegiatan ini, diharapkan siswa dapat menguasai materi dengan lebih baik. Namun di akhir kegiatan, saya tetap memberikan penguatan terhadap materi yang telah mereka praktikkan dan kemudian memberikan contoh soal dan pembahasan terkait dengan materi tersebut agar siswa dapat melatih kemampuan mereka untuk menyelesaikan soal-soal menggunakan rumus atau konsep yang telah mereka pelajari.
Pada kegiatan latihan soal saya menyediakan dua tipe soal. Tipe soal yang pertama adalah soal standar yang modelnya sama dengan soal-soal yang sudah saya bahas sebelumnya. Tipe soal ini saya berikan untuk melatih kemampuan siswa dengan kategori lambat dan menengah. Tipe soal yang kedua adalah soal-soal yang dalam pengerjaannya memerlukan kemampuan analisis yang tinggi. Soal ini saya berikan untuk meningkatkan kemampuan siswa yang masuk dalam kategori cepat dalam menerima pelajaran sehingga dengan waktu yang sama kemampuan siswa dengan berbagai kategori dapat dilatih secara bersamaan. Namun untuk pengambilan nilai evaluasi harian, soal yang diberikan kepada siswa untuk semua level adalah sama.
Selain kegiatan praktik dan presentasi, saya juga membuat sebuah permainan kompetisi yang dilakukan oleh kelompok kecil yang telah dibentuk sebelumnya. Kegiatan ini untuk menguji kemampuan mereka dalam mengerjakan soal-soal terkait dengan materi yang telah mereka praktikkan. Biasanya, permainan ini saya terapkan untuk me-refresh siswa agar pembelajaran lebih aktif. Ketua kelompok atau siswa yang sudah paham harus menjadi mentor untuk teman-temannya dalam satu kelompok. Hal ini saya terapkan dengan harapan siswa yang masih belum paham tidak akan sungkan bertanya karena biasanya siswa lebih nyaman bertanya kepada temannya daripada dengan gurunya. Ketua kelompok harus memastikan teman dalam satu timnya dapat memahami dan mampu mengerjakan setiap soal dengan baik dalam kompetisi tersebut. Permainan kompetisi ini saya lakukan secara outdoor, yaitu dengan meletakkan beberapa soal di tempat yang berbeda-beda. Setiap kelompok hanya boleh berpindah tempat manakala mereka telah menyelesaikan soal dan menunjukkan hasilnya kepada saya. Namun, yang saya koreksi dan saya uji dari hasil kerja mereka adalah perwakilan siswa dengan kemampuan lambat. Saya meminta siswa tersebut untuk menjelaskan kepada saya cara menyelesaikan soal yang saya berikan. Jika siswa yang saya uji tersebut berhasil menjelaskan dengan baik kepada saya, maka kelompok tersebut dapat melanjutkan ke soal berikutnya tetapi jika siswa tersebut gagal menjelaskan, maka menjadi tugas teman-teman dalam satu timnya untuk membantu memahamkan kembali cara penyelesaian soal tersebut. Tujuan utama permainan kompetisi ini ialah untuk membuat siswa yang memiliki kategori lambat dapat lebih bersemangat dan aktif bertanya serta berusaha mengerjakan soal dengan lebih baik dan percaya diri. Selain itu, juga melatih siswa dengan kemampuan cepat atau menengah untuk berbagi ilmu dengan teman-temannya yang tentu saja ini melatih kemampuan mereka untuk lebih menguasai materi tersebut. Karena ketika mereka mampu mengajarkan ilmu kepada teman-temannya itu berarti mereka telah memahami materi tersebut dengan baik. Permainan ini juga dapat melatih kemampuan komunikasi, kerja sama, dan kompetisi secara sportif. Dengan kata lain, permainan ini diterapkan untuk menguji kembali konsep atau rumus yang telah mereka temukan melalui praktik dalam bentuk soal. Jadi, penilaiannya lebih kepada keaktifan siswa dan kemampuan siswa dalam menyelesaikan setiap soal. Guru di sini berperan sebagai fasilitator sekaligus pendamping manakala ada kelompok yang mengalami kesulitan dan sebagai penguji hasil kerja mereka. Kegiatan ini memberi kesempatan kepada siswa yang memiliki kemampuan cepat maupun lambat untuk sama-sama aktif dalam belajar. Siswa dengan kemampuan cepat selain dapat menyelesaikan soal dengan baik, dia dapat meningkatkan kemampuannya dengan cara menjadi guru bagi teman-temannya yang belum mampu mengerjakan soal. Metode ini efektif untuk membuat siswa dalam kategori lambat dapat menerima bimbingan secara privat dengan bantuan teman-temannya sebagai guru sejawat.
Bagi beberapa siswa rumus menjadi hal yang masih sangat susah untuk dihafal meskipun penyampaiannya sudah melalui ilustrasi, melihat melalui video, praktik maupun kerja kelompok sehingga saya pun harus menerapkan metode lain yaitu menghafal rumus dengan nyanyian yang saya namakan nyanyian rumus. Nyanyian rumus saya berikan kepada siswa untuk membuat suasananya menjadi lebih menyenangkan karena belajar dilakukan sambil bernyanyi. Hal itu pun membuat saya tersenyum sendiri karena ketika evaluasi saya melihat beberapa siswa mencoba mengingat rumus tersebut dengan menyanyikan lagu yang pernah saya berikan untuk membantu mengerjakan soal-soal.
Semua metode yang saya terapkan di atas tentunya membutuhkan waktu yang lebih lama agar semua siswa terutama siswa dengan kategori lambat dapat tuntas KKM. Hal ini tentunya tidak sesuai dengan rencana program semester yang harus menyesuaikan dengan kurikulum yang ada. Dilema seorang guru adalah terbatasinya waktu penyampaian materi yang harus disesuaikan dengan kurikulum sekolah. Oleh karena itu, saya harus memperhatikan waktu penyampaian materi yang sudah tertuang dalam program semester. Selain siswa belajar melalui praktik, siswa tetap harus mendapatkan materi pengajaran secara langsung dari guru sehingga materi benar-benar dikuasai dengan baik oleh siswa terutama ketika mengerjakan soal-soal terkait dengan penerapan rumus. Hal ini tentu membutuhkan konsentrasi dan keseriusan dari siswa. Metode yang saya diterapkan adalah klasikal tetapi tetap ada pendampingan secara individual. Saya mengharapkan setiap siswa mampu menyelesaikan soal-soal terkait dengan materi yang telah mereka pelajari dan ini menjadi kendala selanjutnya. Karena metode klasikal ini cukup berhasil untuk anak-anak dengan kemampuan menengah dan cepat. Namun untuk anak-anak dengan kemampuan lambat, mereka sangat ketinggalan dalam mengikuti pembahasan. Sebenarnya, jika berfokus pada siswa dengan kemampuan lambat bisa saja dilakukan, namun tentunya membutuhkan waktu yang lebih lama dan akan membuat bosan anak-anak dengan kemampuan yang cepat. Kasus ini pernah disampaikan kepada saya oleh salah satu siswa dengan kemampuan cepat bahwa mereka merasa bosan karena harus mengulang-ulang materi yang telah mereka kuasai. Hal ini membuat saya harus berpikir lebih, bagaimana saya bisa mengoptimalkan semua kemampuan siswa baik yang masuk dalam kategori lambat, menengah, maupun cepat, namun bisa mengefektifkan waktu sehingga sesuai dengan rencana yang telah tertuang dalam kurikulum. Saya harus mendampingi siswa dengan kemampuan lambat, namun juga harus melejitkan siswa dengan kemampuan menengah dan cepat dalam satu waktu. Ini akan berhasil jika mereka dipisahkan belajarnya karena mengajar siswa dengan kemampuan belajar yang lambat harus lebih sabar dan harus sering diulang-ulang agar dapat diterima dengan baik. Untuk mewujudkan hal ini saya membutuhkan partner untuk bisa membantu saya mendampingi belajar siswa yang memiliki kemampuan menengah ke atas sehingga saya bisa konsentrasi mendampingi siswa dengan kemampuan yang lebih lambat. Tentu saja, dengan keterbatasan tenaga pengajar di sekolah saya, hal ini susah untuk diwujudkan. Namun, saat itu saya memiliki siswa dengan kemampuan di atas rata-rata. Dia dapat menguasai materi yang saya ajarkan dengan sangat cepat. Kemampuan mengajar teman-temannya pun tidak diragukan lagi. Dia sangat bagus dalam menyampaikan materi bahkan mirip dengan saya ketika menerangkan materi kepada teman-temannya. Oleh karena itu, hal ini menjadi kesempatan saya untuk bisa melejitkan kemampuan siswa pada semua level dalam satu waktu. Saya memintanya menjadi asisten saya dengan julukan “asgur” atau asisten guru. Dengan kemampuan yang di atas rata-rata, dia dapat melejitkan potensinya dengan mengajarkan materi yang telah dia kuasai dengan baik kepada teman-temannya. Dalam hal ini, dia berperan sebagai guru untuk teman-temannya. Kesempatan ini, tentunya juga dapat meningkatkan rasa percaya diri siswa tersebut. Dengan dibantu oleh asgur, saya menerapkan metode baru, yaitu memisahkan siswa dalam satu kelas menjadi dua kelompok dalam satu waktu. Kelompok pertama, yaitu siswa dengan kemampuan lambat akan mendapatkan bimbingan langsung dari saya dan kelompok kedua, yaitu siswa dengan kemampuan menengah ke atas akan dibimbing oleh dia sebagai asgur. Saya meminta asgur menerangkan pembahasan soal-soal kepada teman-temannya di depan kelas seperti seorang guru, namun tetap saya awasi dari jauh sambil saya mendampingi kelompok saya ketika belajar. Hasilnya pun tidak diragukan lagi, cara dia menyampaikan sama persis dengan saya dan teman-temannya pun merasa terbantu karena dia sangat sabar dalam mengajar teman-temannya. Pada kesempatan ini, siswa yang masuk dalam kelompok dua tersebut tidak sungkan bertanya kepada asgur karena yang mengajar mereka adalah teman sejawat sehingga dalam proses pembelajaran siswa menjadi lebih aktif dan komunikatif yang pada akhirnya terjadi diskusi tanpa disadari. Sementara itu, untuk siswa dalam kategori lambat pun dapat belajar dengan lebih baik karena proses pembelajaran dapat menyesuaikan dengan kemampuan mereka. Sebagai catatan, metode ini tentunya hanya dapat saya terapkan manakala saya menemukan siswa dengan kemampuan istimewa layaknya seorang guru di kelas saya yang sebenarnya sangat jarang terjadi.
Pada tahun pelajaran 2019/2020 tersebut, kelas yang saya ampu adalah kelas tingkat akhir yang masih menggunakan kurikulum 2006. Untuk ujian akhir, saya sudah mempersiapkan mereka dengan strategi pembelajaran yang sudah saya rencanakan. Terutama, dengan pendampingan secara individual atau privat yang harus sering saya lakukan untuk mengasah kemampuan mereka. Namun ternyata, gelombang pandemi menyerang seluruh dunia termasuk Indonesia. Sehingga Ujian Nasional (UN) yang merupakan ujian terakhir kali yang akan dilaksanakan pada tahun ini akhirnya dibatalkan pelaksanaannya. Saya masih ingat, terakhir kali saya bertemu dengan mereka ketika melakukan uji coba Ujian Nasional di sekolah. Itu adalah saat terakhir saya dapat membersamai siswa saya belajar di sekolah karena setelah itu aktivitas kegiatan belajar mengajar dilaksanakan di rumah secara virtual. Saat itu juga menjadi tahun terakhir saya mengajar Matematika di sekolah saya karena untuk selanjutnya saya harus fokus pada tugas utama saya sebagai tenaga administrasi sekolah. Sebelumnya, saya memang mendapatkan dua amanah tugas di sekolah, yaitu sebagai guru dan tenaga administrasi.
Pandemi yang melanda Indonesia menyebabkan Ujian Nasional (UN) yang rencananya terakhir kali dilakukan di Indonesia tidak dapat terlaksana. Apakah perjuangan anak-anak dan guru yang hampir satu tahun ini dianggap sia-sia? Menurut saya, tidak. Justru, inilah merdeka belajar yang sesungguhnya. Karena tujuan menuntut ilmu bukan untuk mencari kelulusan, tetapi lebih kepada membekali diri dengan berbagai macam keilmuan, mengenali, melatih, dan melejitkan kemampuan serta potensi baik siswa maupun guru. Hal ini tentunya akan membantu mereka dalam menentukan pilihan, kemampuan apa yang akan mereka dalami dan kembangkan untuk kehidupan mereka di masa yang akan datang. Masing-masing bidang keilmuan yang dipelajari pasti akan memberikan manfaat untuk mereka ke depannya. Bagi yang memiliki kemampuan di bidang Matematika, maka dia akan dapat melejitkan kemampuan tersebut jika diasah dengan sangat baik. Begitu pula dengan kemampuan yang lain. Semua siswa mempunyai potensi pada bidangnya masing-masing. Tugas guru sebagai fasilitator dan pembimbing agar potensi yang dimiliki siswa dapat dilejitkan dengan menerapkan metode-metode yang tepat untuk memunculkan dan melatih potensi tersebut. Selain itu, dengan menerapkan konsep merdeka belajar, karakter-karakter positif dari siswa akan terbentuk. Hal ini tentunya sangat dibutuhkan oleh siswa di masa yang akan datang, untuk menjadi generasi cerdas dan berakhlak mulia.
Dalam kisah ini dapat diambil pelajaran bahwa setiap siswa apapun levelnya adalah istimewa bagi seorang guru. Karena tiap level akan memicu kreativitas guru untuk mengembangkan metode pengajaran yang sesuai dengan tingkat levelnya. Setiap siswa memiliki hak yang sama untuk melejitkan potensi yang mereka miliki sesuai dengan kemampuannya. Sebagai guru juga harus pintar memilih cara atau metode yang tepat untuk bisa membantu mereka mempelajari ilmu sesuai dengan kemampuan dan kapasitasnya. Siswa ibarat sebuah gelas, kita bisa mengisi gelas tersebut sesuai dengan kapasitasnya. Ada gelas yang kapasitas isinya satu gelas kecil ada pula yang kapasitas isinya satu gelas besar. Jika mengisi dengan jumlah yang sama pada dua gelas tersebut bisa jadi yang satunya akan luber karena kelebihan muatan dan bisa jadi yang satunya baru terisi sedikit. Maka, untuk bisa mengisi penuh gelas tersebut, kita harus mengenalnya terlebih dahulu, apakah gelas tersebut termasuk gelas kecil atau gelas berukuran besar. Begitu juga dengan siswa, setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda, ada yang unggul di bidang Matematika, IPA, bahasa, olahraga, seni dan lain-lain, namun bisa jadi sebaliknya, yaitu lemah di bidang tersebut. Untuk bisa melejitkan potensi mereka, kita perlu mengenali kemampuan yang mereka miliki sehingga metode yang kita terapkan dapat tepat sasaran dan sesuai dengan kapasitas yang mereka miliki. Mereka tidak harus menjadi siswa yang sangat unggul pada materi yang kita ajarkan, namun mereka bisa memaksimalkan kemampuan mereka sesuai dengan kapasitasnya masing-masing karena di sinilah pembentukan karakter siswa menjadi seseorang yang gigih, tekun, tidak mudah menyerah, dan semangat untuk selalu berusaha akan terbentuk. Karakter ini dibutuhkan siswa untuk kehidupan mereka di masa mendatang apapun profesi mereka. Inilah tugas kita sebagai guru menjadi fasilitator dan pembimbing untuk siswa-siswi kita. Terima kasih para siswa, bersama kalian saya mendapatkan kesempatan untuk bisa belajar lebih banyak tentang hakikat seorang guru.
Selamat Hari Guru 2021! Bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan.
Referensi:
Setiarso, Oky. (2021, Agustus 17). ”Apa Arti Merdeka Belajar Bagi Anak-anak?”Daya. Diakses pada1 Desember 2021 melalui https://www.daya.id/kesehatan/tips-info/sosial/apa-arti-merdeka-belajar-bagi-anak-anak-
Rombot, Olifia. (2019, Desember 22). ”Mengajar adalah Sebuah Seni (Teaching is an art). ” Binus University Fakulty or Humanities. Diakses pada 1 Desember 2021 melalui https://pgsd.binus.ac.id/2019/12/22/mengajar-adalah-sebuah-seni-teaching-is-an-art/

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Seni Mengajar Siswa Istimewa
Minggu, 5 Desember 2021 11:59 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler